2024 Masih Lama, Direktur DJPK Pastikan Orang Miskin Indonesia akan Meroket
Potensi peningkatan jumlah angka kemiskinan di Pulau Jawa akibat Corona sangat besar dibandingkan wilayah lainnya. Direktur Dana Transfer Khusus Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan, Putut Hari Satyaka mengatakan peningkatan angka kemiskinan paling best di Jawa karena wilayahnya sebagai epicentrum penyebaran COVID-19.
Putut menjelaskan, potensi peningkatan jumlah angka kemiskinan dampak dari terganggunya aktivitas ekonomi nasional, ditambah lagi pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di semua sektor yang mendukung perekonomian.
2024 Masih Lama, Direktur DJPK Pastikan Orang Miskin Indonesia akan Meroket
"Dengan dampak yang cukup berat memang potensi kemiskinan Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, Kalimantan akan meningkat," kata Putut dalam video conference, Jakarta, Jumat (29/5/2020).
Pemerintah Indonesia memasang pertumbuhan ekonomi pada skenario optimis antara minus 0,4% sampai 2,3%. Kementerian Keuangan sendiri membuat kajian skenario yaitu berat dengan harapan pertumbuhan akan berada di level 2,3%, sedangkan skenario sangat berat minus 0,4% hingga akhir tahun 2020.
Dari skenario itu terlihat terjadi penurunan target pertumbuhan ekonomi dari yang awalnya sebesar 5,3% sesuai APBN 2020. Dengan begitu, potensi dampak sosial penurunan pertumbuhan terhadap kemiskinan, kata Putut untuk skenario berat akan bertambah sekitar 1,16 juta orang, sangat berat 3,78 juta orang.
Begitu juga pada angka pengangguran, pada skenario berat akan bertambah sekitar 2,92 juta orang, dan sangat berat sekitar 5,23 juta orang. Khusus potensi peningkatan angka kemiskinan, Putut menyebut untuk Pulau Jawa menjadi yang paling besar dibandingkan wilayah lain.
Berdasarkan catatan pemerintah, potensi peningkatan angka kemiskinan di Pulau Jawa pada skenario sangat berat sekitar 2,13 juta orang, sedangkan skenario berat sekitar 0,64 juta orang. Sedangkan di Sumatera untuk skenario sangat berat sekitar 0,85 juta orang, dan skenario berat 0,28 juta orang.
Selanjutnya di Pulau Bali dan Nusa Tenggara untuk skenario sangat bera sekitar 0,25 juta orang, dan skenario berat 0,07 juta orang. Sementara di Sulawesi untuk skenario sangat berat sekitar 0,24 juta orang dan skenario berat 0,07 juta orang. Lalu di Kalimantan untuk skenario sangat berat sekitar 0,18 juta orang dan skenario berat 0,06 juta orang. Terakhir di Maluku dan Papua untuk skenario sangat berat sekitar 0,13 juta orang dan berat sekitar 0,04 juta orang.
"Paling berat di Jawa sebab epicentrum COVID memang paling berat di Jawa. Bukan berarti daerah lain nggak dapat dampak yang berat, Sumatera berat," ujar Putut.
Untuk mengantisipasi dampak tersebut, Putut mengungkapkan dibutuhkan terobosan kebijakan salah satunya melalui transfer ke daerah dan dana desa (TKDD)dalam menangani COVID-19. Antara lain penyesuaian alokasi TKDD melalui Perpres 54 Tahun 2020 untuk dialihkan pada penanganan Corona secara terpusat.
Selanjutnya, dikatakan Putut dengan refocusing TKDD agar digunakan untuk penanganan COVID-19, dan rasionalisasi belanja APBD Tahun 2020 agar fokus pada penanganan COVID-19.
"Pemerintah telah berupaya dengan berbagai rancangan strategi dan kebijakan, dan yang terkait kebijakan keuangan salah satunya anggaran untuk kesehatan, penanganan kesehatan, penanganan COVID. Bansos ratusan triliun, penanganan perlindungan daya beli ratusan triliun," ungkapnya
Putut menjelaskan, potensi peningkatan jumlah angka kemiskinan dampak dari terganggunya aktivitas ekonomi nasional, ditambah lagi pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di semua sektor yang mendukung perekonomian.
2024 Masih Lama, Direktur DJPK Pastikan Orang Miskin Indonesia akan Meroket
"Dengan dampak yang cukup berat memang potensi kemiskinan Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, Kalimantan akan meningkat," kata Putut dalam video conference, Jakarta, Jumat (29/5/2020).
Pemerintah Indonesia memasang pertumbuhan ekonomi pada skenario optimis antara minus 0,4% sampai 2,3%. Kementerian Keuangan sendiri membuat kajian skenario yaitu berat dengan harapan pertumbuhan akan berada di level 2,3%, sedangkan skenario sangat berat minus 0,4% hingga akhir tahun 2020.
Dari skenario itu terlihat terjadi penurunan target pertumbuhan ekonomi dari yang awalnya sebesar 5,3% sesuai APBN 2020. Dengan begitu, potensi dampak sosial penurunan pertumbuhan terhadap kemiskinan, kata Putut untuk skenario berat akan bertambah sekitar 1,16 juta orang, sangat berat 3,78 juta orang.
Begitu juga pada angka pengangguran, pada skenario berat akan bertambah sekitar 2,92 juta orang, dan sangat berat sekitar 5,23 juta orang. Khusus potensi peningkatan angka kemiskinan, Putut menyebut untuk Pulau Jawa menjadi yang paling besar dibandingkan wilayah lain.
Berdasarkan catatan pemerintah, potensi peningkatan angka kemiskinan di Pulau Jawa pada skenario sangat berat sekitar 2,13 juta orang, sedangkan skenario berat sekitar 0,64 juta orang. Sedangkan di Sumatera untuk skenario sangat berat sekitar 0,85 juta orang, dan skenario berat 0,28 juta orang.
Selanjutnya di Pulau Bali dan Nusa Tenggara untuk skenario sangat bera sekitar 0,25 juta orang, dan skenario berat 0,07 juta orang. Sementara di Sulawesi untuk skenario sangat berat sekitar 0,24 juta orang dan skenario berat 0,07 juta orang. Lalu di Kalimantan untuk skenario sangat berat sekitar 0,18 juta orang dan skenario berat 0,06 juta orang. Terakhir di Maluku dan Papua untuk skenario sangat berat sekitar 0,13 juta orang dan berat sekitar 0,04 juta orang.
"Paling berat di Jawa sebab epicentrum COVID memang paling berat di Jawa. Bukan berarti daerah lain nggak dapat dampak yang berat, Sumatera berat," ujar Putut.
Untuk mengantisipasi dampak tersebut, Putut mengungkapkan dibutuhkan terobosan kebijakan salah satunya melalui transfer ke daerah dan dana desa (TKDD)dalam menangani COVID-19. Antara lain penyesuaian alokasi TKDD melalui Perpres 54 Tahun 2020 untuk dialihkan pada penanganan Corona secara terpusat.
Selanjutnya, dikatakan Putut dengan refocusing TKDD agar digunakan untuk penanganan COVID-19, dan rasionalisasi belanja APBD Tahun 2020 agar fokus pada penanganan COVID-19.
"Pemerintah telah berupaya dengan berbagai rancangan strategi dan kebijakan, dan yang terkait kebijakan keuangan salah satunya anggaran untuk kesehatan, penanganan kesehatan, penanganan COVID. Bansos ratusan triliun, penanganan perlindungan daya beli ratusan triliun," ungkapnya